Hujan kota Jakarta menari di jendela kafe. Aroma kopi yang pahit manis memenuhi udara, sama seperti rasa yang tertinggal di lidahku setiap kali mengingat namanya. Notifikasi ponselku berkedip redup. Bukan dia. Sudah berbulan-bulan, dan setiap dering, setiap getar, hanya mengiris harapan tipis yang masih kubiarkan menyala.
Dulu, ponsel ini adalah jembatan kami. Ratusan pesan, emoji konyol, dan suara tawa yang tersimpan dalam rekaman suara. Sekarang, hanya tumpukan chat yang tak terkirim. Untaian kata-kata yang kuhapus berkali-kali, terlalu jujur, terlalu menginginkan. Apakah dia merasakan hal yang sama? Apakah dia juga menatap layar, berharap sebuah nama asing muncul di sana?
Mimpi-mimpiku dipenuhi bayangannya. Senyumnya, tawanya, dan sentuhan yang terasa begitu nyata hingga aku terbangun dengan jantung berdebar dan air mata yang tak tertahankan. Dia hadir dalam setiap sudut ingatanku, sebuah melodi yang tak bisa kulupakan, sebuah kenangan yang tak bisa kuhapus.
Kehilangan ini terasa samar, seperti kabut pagi yang menyelimuti kota. Aku tahu dia pergi, tapi mengapa? Apa yang salah? Apakah ini semua salahku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, tanpa jawaban yang pasti. Misteri hubungan kami seperti labirin yang tak berujung.
Semakin aku mencoba mencari tahu, semakin aku tersesat. Aku menggali masa lalu, menemukan petunjuk-petunjuk kecil yang tersembunyi di antara senyum dan tawa. Sebuah foto yang disembunyikan di balik bingkai, sebuah nama yang disebut dalam tidur, sebuah alamat yang tertulis di selembar kertas usang.
Rahasia.
Itulah yang dia sembunyikan dariku. Sebuah beban yang terlalu berat untuk dipikulnya seorang diri. Sebuah masa lalu kelam yang menghantuinya. Aku menemukannya, akhirnya. Kebenaran yang pahit, tapi membebaskan. Kebenaran yang menjelaskan segalanya.
Kini, aku berdiri di depannya. Bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, tapi dengan ketenangan. Di tanganku, sebuah amplop putih dengan namanya tertulis rapi di atasnya.
"Ini," kataku, menyodorkan amplop itu. "Semoga ini membantumu."
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Maaf," bisiknya, nyaris tak terdengar.
Aku tersenyum. Bukan senyum palsu, tapi senyum yang tulus, senyum yang mengakhiri segalanya. Aku tidak membalas ucapannya. Aku berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan dia dan masa lalunya di belakang.
Di dalam amplop itu, bukan surat ancaman, bukan tuntutan, tapi foto-foto kebahagiaan kami. Foto-foto yang akan mengingatkannya bahwa dia pernah dicintai, bahwa dia layak dicintai.
Itulah balas dendamku. Bukan dengan air mata, bukan dengan amarah, tapi dengan cinta.
Pesan terakhir: "Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Semoga kamu bahagia."
Senyum terakhir: Senyum yang membebaskan, senyum yang menutup babak ini.
Aku menghapus nomornya dari daftar kontakku. Aku membungkam notifikasi dari semua media sosialnya. Aku melepaskannya.
Aku berjalan menembus hujan, merasakan tetesan air membasahi wajahku. Aku merasa kosong, tapi juga lega.
Malam semakin larut. Lampu-lampu kota berkedip-kedip, memantulkan cahaya di genangan air di jalanan. Aku berdiri di balkon apartemenku, menatap pemandangan kota yang gemerlap.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di ponselku. Dari nomor yang tidak dikenal.
"Aku juga."
...
You Might Also Like: Seru Pedang Yang Bergetar Saat
0 Comments: