Senyum yang Mengandung Racun Kabut menggantung rendah di puncak Gunung Liang, menyelimuti jalan setapak dengan misteri. Aroma pinus dan ta...

Drama Abiss! Senyum Yang Mengandung Racun Drama Abiss! Senyum Yang Mengandung Racun

Drama Abiss! Senyum Yang Mengandung Racun

Drama Abiss! Senyum Yang Mengandung Racun

Senyum yang Mengandung Racun

Kabut menggantung rendah di puncak Gunung Liang, menyelimuti jalan setapak dengan misteri. Aroma pinus dan tanah basah bercampur dengan bau darah samar yang membuat bulu kuduk berdiri. Di tengah sunyinya pagi, sosok berjubah hitam berdiri mematung, menatap gerbang Istana Jade yang megah.

Dua belas tahun berlalu sejak Li Wei, putra mahkota yang dicintai, dikabarkan tewas dalam pertempuran melawan suku barbar di utara. Kini, ia kembali.

Lorong-lorong istana terasa lebih sunyi dari yang ia ingat. Setiap langkah kakinya menggema, memantulkan bayangan masa lalu yang pahit. Lukisan-lukisan leluhur seolah mengawasi dengan tatapan dingin, menyimpan rahasia kekaisaran yang berlumuran darah.

Ia memasuki Paviliun Bulan, tempat Permaisuri Dowager, ibu kandungnya, menantinya. Wajah keriput sang permaisuri terukir dengan kesedihan abadi. Di tangannya tergenggam cangkir teh porselen yang tampak rapuh.

"Wei'er... apakah benar itu kau?" suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Li Wei berlutut, menundukkan kepala. "Ibu suri, ini aku. Aku kembali."

Permaisuri Dowager mendekat, menyentuh pipinya dengan tangan gemetar. "Bagaimana mungkin? Semua orang melihatmu... jatuh. Bagaimana kau bisa selamat?"

"Aku diselamatkan oleh seorang tabib pertapa di pegunungan. Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkan diri," jawab Li Wei, suaranya lembut namun mengandung ketegasan.

"Dan apa yang membawamu kembali setelah sekian lama?" tanya permaisuri, tatapannya menyelidik.

Li Wei mengangkat wajahnya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang familier, namun terasa berbeda. Senyum yang mengandung racun.

"Keadilan, Ibu suri. Dan untuk mengklaim kembali apa yang menjadi hakku."

Mata Permaisuri Dowager membulat. "Apa maksudmu?"

"Selama ini aku percaya bahwa aku adalah korban, Ibu suri. Korban pengkhianatan, konspirasi, dan ambisi. Tapi aku salah." Li Wei berdiri, perlahan mendekati ibunya. "Aku melihat semuanya dengan jelas sekarang. Aku mengerti mengapa adikku, Pangeran Rui, tiba-tiba menjadi begitu kuat setelah 'kematianku'. Aku mengerti mengapa para jenderal yang setia padaku tiba-tiba dibuang dan dihukum mati. Aku mengerti mengapa kau tidak pernah benar-benar mencari kebenaran."

Permaisuri Dowager mundur, terhuyung. "Jangan... jangan bicara omong kosong!"

"Oh, tapi aku berbicara kebenaran, Ibu suri. Kau yang merencanakan semuanya. Kau yang memanipulasi bidak-bidak di papan catur ini. Kau menginginkan Pangeran Rui sebagai kaisar, bukan aku. Aku hanyalah batu sandungan yang harus disingkirkan."

Wajah Permaisuri Dowager pucat pasi. Ia menjatuhkan cangkir teh porselen yang langsung pecah berkeping-keping di lantai.

"Bagaimana... bagaimana kau tahu?" bisiknya, nyaris tak terdengar.

Li Wei mendekat, berbisik di telinga ibunya. "Karena aku yang memberimu ide itu, Ibu suri. Dua belas tahun yang lalu, ketika aku memberitahumu tentang ambisi Pangeran Rui... aku juga menanamkan benih keraguan dalam hatimu. Aku tahu kau akan melakukan apa yang kau lakukan. Aku hanya butuh waktu untuk mempersiapkan kepulanganku yang sesungguhnya."

Senyum Li Wei semakin lebar, menampakkan kilatan dingin di matanya.

"Kau pikir aku kembali untuk membalas dendam? Oh, Ibu suri... aku kembali untuk menunjukkan padamu, siapa yang benar-benar memegang kendali."

... Dan suara burung gagak di kejauhan terasa sangat dekat.

You Might Also Like: Cerpen Keren Bayangan Yang Menggigil

0 Comments: