Hujan turun di atas makamnya. Airnya dingin, seperti sentuhan jari yang tak lagi bernyawa. Daun-daun maple berguguran, menari dalam pusaran angin yang mengantarkan aroma tanah basah dan kenangan pahit. Aku berdiri di sana, bukan sebagai Lin Mei yang dulu, tapi sebagai bayangan yang terikat, roh yang tak bisa beristirahat.
Dunia ini, setelah badai dahsyat itu merenggut nyawaku, terasa asing sekaligus familiar. Pohon-pohon yang dulu hijau kini tampak lebih redup. Rumah-rumah yang dulu ramai kini sunyi senyap. Hanya suaramu, Li Wei, yang masih berputar di kepalaku, gema janji yang tak terpenuhi, kata-kata yang tak terucap.
Aku mengingat malam itu. Kilat menyambar, guntur menggelegar. Kita bertengkar, bodohnya. Hal-hal sepele. Lalu, kecelakaan itu. Gelap. Dan kemudian, hanya kehampaan. Kau berteriak, aku ingat. Teriakan penuh penyesalan.
Sebagai roh, aku bisa melihatmu. Kau duduk di samping ranjangku, memegang tanganku yang dingin. Air matamu jatuh, membasahi kain putih. Kau berjanji akan melakukan segalanya untukku, untuk mencari keadilan. Tapi, Li Wei, kau salah.
Aku tidak kembali untuk balas dendam. Dendam adalah racun yang hanya akan menghantuimu. Aku kembali untuk kedamaian. Kedamaian untuk diriku sendiri, dan juga untukmu.
Aku melihat bayanganku sendiri di cermin, pucat dan rapuh. Aku mencoba berbicara, tapi hanya angin yang berdesir. Aku mencoba menyentuhmu, tapi tanganku menembus tubuhmu. Aku hanya bisa mengamati, menjadi saksi bisu dari kesedihanmu.
Kau menggali kebenaran, Li Wei. Kau menemukan kebohongan, pengkhianatan, dan konspirasi. Kau marah. Kemarahanmu membakar dirimu sendiri. Aku ingin menghentikanmu, tapi aku tidak bisa.
Suatu malam, kau menemukan surat. Surat yang aku tulis sebelum badai. Surat yang berisi semua kebenaran yang aku simpan. Surat tentang perasaanku, tentang ketakutanku, tentang cintaku padamu.
Kau membacanya di bawah cahaya bulan, air mata membasahi pipimu. Dan saat itulah, aku melihatnya. Senyum tipis di bibirmu. Senyum yang sudah lama hilang.
Kau akhirnya mengerti. Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya ingin kau tahu. Aku hanya ingin kau bahagia.
Kau meletakkan surat itu di dadamu, lalu menutup mata. Kau tampak damai. Aku tahu, tugasku sudah selesai. Badai telah mereda.
Aku berbalik, menghadap cahaya. Cahaya yang hangat, yang memanggilku pulang. Aku melayang, semakin jauh dari dunia yang fana ini. Aku mendengar suaramu untuk terakhir kalinya, berbisik, "Aku mengerti."
Dan saat aku menghilang, aku tersenyum, karena aku tahu, akhirnya, kau akan baik-baik saja…
You Might Also Like: Rahasia Dibalik Mimpi Menyelamatkan
0 Comments: