Hujan di Persimpangan Takdir Hujan menggigil di pelataran kuil tua, persis seperti dulu. Dulu, di bawah naungan atap kuil ini, janji-janji...

SERU! Aku Mencintaimu Tanpa Izin, Dan Menyesal Tanpa Akhir SERU! Aku Mencintaimu Tanpa Izin, Dan Menyesal Tanpa Akhir

SERU! Aku Mencintaimu Tanpa Izin, Dan Menyesal Tanpa Akhir

SERU! Aku Mencintaimu Tanpa Izin, Dan Menyesal Tanpa Akhir

Hujan di Persimpangan Takdir

Hujan menggigil di pelataran kuil tua, persis seperti dulu. Dulu, di bawah naungan atap kuil ini, janji-janji terucap, sehangat mentari musim semi. Dulu, tawa renyah Lian bergema, memantul di antara pilar-pilar kayu yang lapuk dimakan usia. Sekarang, yang tersisa hanya gemericik hujan yang monoton dan bayangan Lian yang patah di hatiku.

Delapan tahun. Delapan tahun sejak malam itu. Malam ketika aku menemukannya, berpelukan dengan sahabatku sendiri, di bawah cahaya bulan yang sama yang dulu menyaksikan sumpah setia kami. Pengkhianatan itu menghancurkanku. Membuatku menjadi serpihan kaca yang tajam, siap melukai siapa saja yang mendekat.

Lian berdiri di hadapanku, gaun sutranya basah kuyup. Cahaya lentera di tangannya nyaris padam, sama seperti harapan di matanya. "Ming," bisiknya, suaranya serak. "Aku… aku tahu kau tidak akan pernah memaafkanku."

Aku menatapnya, dingin. Dulu, tatapannya adalah matahariku. Sekarang, hanya ada kabut tebal yang menyelimuti. "Memaafkan? Kau pikir kata itu cukup, Lian? Untuk delapan tahun KESENGSARAAN?"

Dia menunduk, air mata bercampur dengan air hujan yang menetes di pipinya. Aku tahu, dia selalu pandai memainkan peran orang yang tersakiti. Dulu, aku akan langsung memeluknya, menghapus air matanya, dan melupakan segalanya. Tapi, dulu aku bodoh.

"Aku tahu aku salah, Ming. Tapi… aku terpaksa."

"Terpaksa?" Aku mencibir. "Alasan klise. Selalu ada alasan, bukan? Lalu, bagaimana dengan perasaanku? Bagaimana dengan janjimu? Apakah itu juga 'terpaksa'?"

Dia tidak menjawab. Hujan semakin deras, membasahi kami berdua. Aku bisa merasakan hawa dingin menusuk tulang, tapi yang paling dingin adalah hatiku.

"Kau tahu, Lian," kataku, mendekat selangkah. Cahaya lentera menerangi wajahnya yang pucat. "Selama delapan tahun ini, aku membiarkanmu percaya bahwa akulah yang menderita. Bahwa kau telah menghancurkanku."

Dia menatapku, bingung.

"Tapi, kau salah. Kau sangat salah. Delapan tahun ini, aku tidak hancur. Aku merencanakan. Aku membangun kembali diriku, batu bata demi batu bata, dengan tujuan tunggal: BALAS DENDAM."

Lian mundur, ketakutan terpancar jelas di wajahnya.

Aku tersenyum, senyum yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Senyum yang lahir dari kegelapan dan kepahitan.

"Kau pikir aku tidak tahu tentang perusahan ayahmu yang bangkrut? Tentang hutang-hutangmu? Tentang… SEGALANYA?"

Lentera di tangannya jatuh, padam, meninggalkan kami dalam kegelapan total, diterangi hanya oleh kilatan petir sesekali.

"Kau tahu, Lian," bisikku, tepat di telinganya. "Delapan tahun yang lalu, kau pikir kau menghancurkanku. Tapi, yang sebenarnya terjadi adalah… kau sedang menyelamatkan nyawaku, tanpa kau sadari, karena akulah yang seharusnya berada di dalam mobil itu, bukan ayahmu."

You Might Also Like: 149 Tips Pelembab Dengan Ekstrak Herbal

0 Comments: