Aku Menjadi Istrinya Dalam Perintah, Tapi Kekasihnya Dalam Dosa
Hujan kota malam ini terasa seperti ribuan notifikasi yang berjatuhan, mengingatkanku pada ponsel yang bergetar tanpa henti beberapa tahun lalu. Ponsel yang kini diam, sama diamnya dengan hati yang mencoba kubangun kembali. Aku, Lin Mei, istrinya di mata dunia, tapi kekasihnya dalam dosa tersembunyi.
Aroma kopi dari cangkir di depanku tak bisa mengalahkan aroma tubuhnya yang dulu memelukku erat di tengah malam. Dulu, sebelum dia pergi, sebelum aku menjadi istri orang lain. Dulu, sebelum takdir mempermainkan kami dengan kejam.
Semuanya dimulai dari sebuah aplikasi kencan. Pertemuan yang kebetulan, tapi terasa seperti sudah ditakdirkan. Dia, Zhang Wei, dengan senyum yang menghangatkan jiwa dan tatapan yang menyimpan segala rahasia. Kami berbagi mimpi, harapan, bahkan ketakutan terdalam di antara sisa chat yang tak terkirim – pesan-pesan yang kini hanya menjadi artefak digital di ponsel yang nyaris kulupakan.
Lalu, datanglah perintah itu. Perjodohan yang tak bisa kutolak demi menyelamatkan bisnis keluarga. Zhang Wei menghilang tanpa jejak. Sakit? Tentu saja. Tapi aku memilih untuk bertahan, menjadi istri yang patuh, meski jiwa ini merindukannya setiap detik.
Bertahun-tahun berlalu. Aku nyaris lupa bagaimana rasanya dicintai dengan tulus. Sampai sebuah amplop coklat tiba di mejaku. Isinya? Foto-foto. Foto-foto Zhang Wei, bersama wanita lain, tertawa bahagia di sebuah pulau terpencil. Kebohongan? Pengkhianatan? Atau… sesuatu yang lebih rumit?
Perasaan kehilangan yang samar, yang selama ini kupendam, kini meledak bagai bom waktu. Semua kenangan indah dan menyakitkan berputar di kepala. Mengapa dia meninggalkanku? Mengapa dia tidak menjelaskan apa pun?
Malam-malam berikutnya kuhabiskan dengan menelusuri jejak digitalnya. Dari akun media sosial anonim hingga forum online yang tersembunyi. Aku menggali, mencari, sampai akhirnya menemukan RAHASIA itu.
Zhang Wei tidak meninggalkanku karena bosan. Dia pergi karena terpaksa. Dia melindungi keluarganya dari kebangkrutan yang diakibatkan oleh ayahku sendiri. Dia mengorbankan cintanya demi kebahagiaan orang lain.
Air mata menetes di pipiku. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata penyesalan. Aku telah salah menilainya. Aku telah menyia-nyiakan cinta yang begitu tulus.
Keesokan harinya, aku membuat sebuah keputusan. Keputusan yang akan mengubah segalanya. Aku mengumpulkan bukti pengkhianatan suamiku, bukti korupsi ayahnya, dan mengirimkannya ke pihak berwajib. Keluarga yang telah merenggut kebahagiaanku harus membayar harga yang setimpal.
Aku meninggalkan cincin pernikahanku di atas meja. Menatap pantulanku di cermin. Lalu, aku mengirimkan sebuah pesan terakhir ke nomor Zhang Wei.
"Maafkan aku. Aku tahu segalanya sekarang."
Aku mematikan ponselku.
Malam ini, hujan kota terasa lebih tenang. Aroma kopi tidak lagi pahit. Aku membiarkan angin membawa pergi sisa-sisa masa lalu. Aku pergi, meninggalkan kehidupan yang penuh kepalsuan.
Beberapa bulan kemudian, Zhang Wei menerima pesan dari nomor tak dikenal. Sebuah foto. Lin Mei, tersenyum bahagia di sebuah kafe di kota lain, ditemani seorang pria asing.
Tidak ada kata-kata. Hanya senyum itu. Senyum yang mengatakan segalanya tanpa perlu penjelasan.
Zhang Wei membalas pesan itu dengan satu kata:
"Akhirnya."
Dia mematikan ponselnya. Menatap bintang-bintang. Merasakan hampa yang ABADI.
You Might Also Like: 11 Tutorial Skincare Lokal Ringan Untuk
0 Comments: