Hujan jatuh di atas batu nisan, seperti air mata yang tak pernah selesai menetes. Aroma tanah basah dan bunga krisan menusuk hidung, tapi aku tak bisa merasakannya. Aku hanya roh, bayangan yang menolak pergi dari pusara ini. Pusaraku sendiri.
Di sana, di bawah payung hitam yang bergetar oleh angin, dia berlutut. Punggungnya membungkuk, bahunya bergetar. Li Wei, nama itu masih terukir di benakku, sama dalamnya dengan rasa sakit yang dulu kutelan.
Dulu, aku, Mei Lan, pergi tanpa kata. Tanpa kebenaran. Sebuah kecelakaan tragis, mereka bilang. Tapi aku tahu, dan sekarang, kau juga tahu, Li Wei, bahwa kebenaran terkubur lebih dalam dari jasadku.
Aku mengambang di atasnya, mengamati setiap lekuk wajahnya yang diliputi penyesalan. Bayangan masa lalu menari di sekeliling kami. Debu jalanan, bau teh melati di kedai kopi tempat kami pertama kali bertemu, senyumnya yang dulu membuat jantungku berdebar. Semuanya terasa begitu nyata, begitu dekat, namun terpisah oleh jurang yang tak bisa dijembatani.
Setiap malam, setelah matahari bersembunyi di balik bukit, aku kembali ke sini. Aku menyaksikan Li Wei membawa bunga, membersihkan nisan, dan berbisik. Bisikan yang dipenuhi permintaan maaf, penyesalan, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab saat aku masih hidup.
Dia menyalahkan dirinya atas kematianku. Dia yakin, jika saja dia tidak sibuk dengan pekerjaannya, jika saja dia menyempatkan waktu untukku, mungkin aku masih ada di sini. Salah. Itu bukan salahnya.
Kebenaran yang kutahan rapat-rapat dulu adalah beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Kebenaran tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Kebenaran tentang pengkhianatan yang menggerogoti hatiku.
Awalnya, aku ingin BALAS DENDAM! Aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan. Aku ingin dia menderita. Tapi melihatnya berlutut di kuburanku setiap hari, hatiku—atau sisa-sisa hatiku—mulai mencair.
Aku mengerti. Dia tidak bersalah. Dia hanya korban seperti diriku.
Maka, malam itu, di bawah cahaya rembulan yang pucat, aku memutuskan untuk melepaskan dendamku. Aku memaafkannya, jauh sebelum dia mengucapkan permintaan maaf pertama.
Aku ingin dia tahu kebenarannya. Aku ingin dia bebas. Aku ingin dia menemukan kedamaian.
Aku berusaha keras, sekuat tenaga yang tersisa, untuk mengirimkan pesan. Untuk menuntunnya menuju kebenaran. Aku membisikkan nama-nama, menunjukkan petunjuk, mengatur mimpi-mimpinya.
Dan akhirnya, dia mengerti. Dia menemukan bukti. Dia membongkar konspirasi.
Suatu pagi, aku melihatnya berdiri tegak di depan nisan. Matanya tidak lagi dipenuhi kesedihan, tapi oleh tekad dan keberanian. Dia tersenyum tipis, lalu berbalik dan pergi.
Tugasku selesai. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.
Aku tidak mencari balas dendam. Aku hanya mencari…
... ketenangan.
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Supplier Kosmetik
0 Comments: