Kabut jingga menyelimuti medan perang, seperti lukisan mimpi yang koyak. Aroma mesiu bercampur dengan wangi bunga plum yang layu, sebuah ironi yang menikam kalbu. Di sanalah, di tengah riuh rendah kematian, mata kita bertemu. Matahari terbit di matamu, dan senja meredup di hatiku.
Aku, Li Wei, seorang jenderal dari Kerajaan Han, terikat sumpah untuk membela tanah air. Kau, Zhao Mei, putri mahkota dari Kerajaan Yue, seorang wanita dengan kecantikan yang mampu menaklukkan dunia, tetapi juga dengan pedang di tangan yang tak kalah mematikan. Kita adalah musuh bebuyutan, terlahir untuk saling menghancurkan.
Namun, takdir punya caranya sendiri. Di balik perisai dan pedang, di balik sumpah setia dan ambisi, tumbuhlah benih cinta yang terlarang. Pertemuan kita bagaikan gerhana matahari—singkat, menakjubkan, dan meninggalkan kegelapan abadi. Kita bertemu di lembah tersembunyi, di bawah pohon sakura yang selalu berbunga di musim semi (walaupun perang tak mengenal musim), berbagi rahasia dan mimpi yang tak mungkin terwujud.
Suaramu bagai bisikan angin di tengah badai, menenangkan jiwa yang terluka. Sentuhanmu bagai embun pagi di kelopak mawar, menyegarkan hati yang kering. Kita menari di bawah rembulan yang pucat, seolah-olah perang hanyalah igauan buruk, dan cinta adalah satu-satunya kenyataan.
Aku melukismu di kanvas hatiku, sebuah potret abadi tentang seorang dewi perang yang berhati lembut. Kau merajut namaku di sutra impianmu, sebuah janji tersembunyi tentang keabadian.
Tapi, mimpi selalu berakhir. Perang semakin berkecamuk, memisahkan kita dengan lebih kejam. Kita kembali menjadi musuh, dengan pedang di tangan dan air mata di mata. Setiap tebasan pedang adalah sayatan di hati, setiap kemenangan adalah kekalahan yang pahit.
Bertahun-tahun berlalu, perang usai. Kerajaan Han menang, Kerajaan Yue runtuh. Aku berdiri di puncak kejayaan, tetapi hatiku hancur berkeping-keping. Aku mencari dirimu di antara reruntuhan istana, di antara tumpukan mayat, tetapi yang kutemukan hanyalah keheningan yang memekakkan telinga.
Dan kemudian, aku menemukannya. Di sebuah kamar rahasia, tersembunyi di balik perpustakaan istana. Sebuah lukisan diriku, dilukis dengan darah dan air mata. Di bawah lukisan itu, tertulis sepucuk surat:
"Li Wei, jika kau menemukan surat ini, ketahuilah bahwa aku tidak pernah menjadi Putri Mahkota Zhao Mei. Aku hanyalah seorang mata-mata, dikirim untuk menghancurkan Kerajaan Han dari dalam. Aku mencintaimu, tetapi aku lebih mencintai tanah airku. Maafkan aku."
Dunia runtuh di sekitarku. Cinta yang kuimpikan hanyalah kepalsuan, sebuah permainan licik dari takdir. Hati yang kurajut hanyalah boneka yang dipermainkan. Rasa sakit yang kurasakan lebih pedih dari seribu tebasan pedang.
Namun, di sudut surat itu, terselip satu kalimat yang membuatku terhenti:
"Tapi, malam-malam di bawah sakura, sungai berbisik, rembulan menjadi saksi… itu adalah aku yang sebenarnya."
Apakah itu kebenaran? Atau hanya ilusi lain dari hatiku yang terluka?
"Akankah kau mengingatku, jenderal?"
You Might Also Like: Skincare Terbaik Dengan Harga
0 Comments: