Cinta yang Terlambat Menyadari Luka Hujan tipis menari di jendela kaca penthouse-ku, memantulkan kerlap-kerlip lampu kota yang gemerlap. P...

Cerita Seru: Cinta Yang Terlambat Menyadari Luka Cerita Seru: Cinta Yang Terlambat Menyadari Luka

Cerita Seru: Cinta Yang Terlambat Menyadari Luka

Cerita Seru: Cinta Yang Terlambat Menyadari Luka

Cinta yang Terlambat Menyadari Luka

Hujan tipis menari di jendela kaca penthouse-ku, memantulkan kerlap-kerlip lampu kota yang gemerlap. Pemandangan yang selalu kurasa indah, malam ini terasa hambar. Di tanganku, gelas berisi anggur merah memudar warnanya, sama seperti cinta yang dulu pernah kurasa begitu PEKAT.

Delapan tahun. Delapan tahun aku membangun kerajaan bisnis ini, bukan untukku, tapi untuknya. Untuk senyumnya yang dulu kupuja, untuk matanya yang dulu kupandang sebagai dunia. Delapan tahun aku mencintainya dengan SEGENAP jiwa.

Senyum itu... ah, senyum itu adalah topeng yang indah. Dulu aku begitu bodoh hingga tak melihatnya. Senyum itu menyembunyikan pengkhianatan.

"Xi Lan?" suara lembutnya memecah keheningan. Zhang Wei, suamiku, berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan piyama sutra berwarna kelabu. Wajahnya tampak khawatir, entah pura-pura atau tidak.

"Tidak bisa tidur?" tanyanya, berjalan mendekat dan memelukku dari belakang. Pelukan yang dulu terasa hangat, kini bagai racun yang perlahan membunuhku.

Dulu, aku mempercayai setiap ucapannya. Setiap janjinya. Setiap bisikan cintanya. Janji-janji itu... kini hanyalah belati yang menusuk-nusuk hatiku, meninggalkan luka yang menganga. Aku masih ingat janjinya di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Janji yang seharusnya suci, dinodai dengan kebohongan.

"Aku baik-baik saja," jawabku datar, melepaskan pelukannya dengan lembut. Nada bicaraku tenang, sedingin es di kutub utara. Aku sudah belajar menyembunyikan badai di dalam diriku. Aku sudah belajar tersenyum, meski hatiku berdarah.

Dia mendekat dan mencoba meraih tanganku, tapi aku menghindar. "Xi Lan, ada apa denganmu? Kau menjauhiku akhir-akhir ini."

"Apakah memangnya penting?" tanyaku, menatapnya langsung ke mata. Mata yang dulu kupikir tulus, kini penuh kebohongan dan ketakutan.

Aku bisa melihat ketakutan itu. Dia tahu. Dia tahu bahwa aku tahu.

"Aku... aku selalu mencintaimu, Xi Lan," ucapnya dengan nada memelas.

Aku tertawa hambar. Tawa tanpa kebahagiaan. Tawa yang hanya menyisakan kepedihan. "Cinta? Apa kau tahu apa itu cinta, Zhang Wei? Cinta itu adalah pengorbanan, kesetiaan, dan kepercayaan. Kau tidak tahu apa pun tentang itu."

Beberapa bulan terakhir ini, aku menggunakan setiap sumber daya yang kumiliki untuk mengungkap kebenaran. Kebenaran yang menghancurkan seluruh duniaku. Kebenaran tentang perselingkuhannya dengan sekretarisnya, tentang penggelapan dana perusahaan, tentang... rencana liciknya untuk menghancurkanku.

Tanpa emosi yang berlebihan, aku menunjukkan bukti-bukti yang terkumpul di layar tabletku. Ekspresi wajahnya pucat pasi. Dia tidak menyangkal. Dia tidak bisa menyangkal.

"Kau..." Dia terbata-bata, mencoba mencari alasan. "Aku bisa menjelaskan..."

"Tidak perlu," potongku. "Semuanya sudah jelas."

Aku sudah mempersiapkan segalanya. Semua aset perusahaan sudah kupindahkan ke rekeningku. Semua saham yang dia miliki sudah kubeli dengan harga yang pantas – terlalu pantas, bahkan. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali penyesalan.

"Aku akan menceraikanmu," ucapku dengan suara dingin. "Kau akan kehilangan segalanya. Segalanya yang telah kuberikan padamu."

Dia berlutut di hadapanku, memohon ampun. Aku menatapnya tanpa belas kasihan.

"Pergilah. Tinggalkan rumah ini. Jangan pernah menemuiku lagi."

Saat dia pergi, aku menyesap anggurku. Rasa anggur itu pahit. Terlalu pahit. Kemenangan ini... terasa hambar.

Aku akan memastikan bahwa dia akan menyesal. Penyesalan yang akan menghantuinya seumur hidupnya. Bukan dengan darah, bukan dengan kekerasan. Tapi dengan kehilangan segalanya. Dengan hidup dalam bayangan kesalahannya. Dengan menyadari betapa bodohnya dia telah menyia-nyiakan cintaku.

Di balik jendela, hujan semakin deras. Aku menatap pantulan diriku sendiri di kaca. Wanita yang kuat. Wanita yang elegan. Wanita yang hancur.

Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama.

You Might Also Like: Peluang Bisnis Kosmetik Bisnis

0 Comments: