Aku Mencintaimu di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran Debu. Di mana-mana debu. Istana Yunxi yang megah kini hanyalah k...

SERU! Aku Mencintaimu Di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran SERU! Aku Mencintaimu Di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran

SERU! Aku Mencintaimu Di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran

SERU! Aku Mencintaimu Di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran

Aku Mencintaimu di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran

Debu. Di mana-mana debu. Istana Yunxi yang megah kini hanyalah kerangka yang meratap di bawah langit senja berwarna karat. Aroma cendana yang dulu menusuk hidung, berganti bau anyir dan kenangan pahit. Di sinilah, di antara pilar-pilar yang runtuh, aku pertama kali melihatnya.

Bukan melihat dengan mata, tapi dengan denyut jantung yang tiba-tiba melompat seperti ikan mas koki dikejutkan petir. Namanya tidak kukenal. Wajahnya samar, terdistorsi oleh riak-riak aneh di udara. Dia... BERSINAR.

Dia mengenakan pakaian yang belum pernah kulihat. Kain yang berkilauan, seperti air yang dibekukan menjadi benang. Tangannya memegang lempengan tipis yang bercahaya, menampilkan gambar-gambar bergerak yang tak kumengerti.

"Halo?" suaranya pecah, seperti sinyal radio yang hilang. "Apakah ada orang di sini? Aku… aku mencari Ayi."

Ayi. Nama itu asing, tapi anehnya familier. Seperti melodi lama yang terlupa, tersembunyi di sudut memori yang berdebu. Aku, Jenderal Zhao Yun, pelindung terakhir Dinasti Ming, berdiri terpaku.

"Siapakah kau?" tanyaku, suaraku serak karena lama tak bicara.

Dia terkejut. "Aku… aku Elara. Aku… dari masa depan."

Masa depan? Kata-kata itu bagai tusukan pedang di jantungku. Masa depan macam apa yang membawanya ke reruntuhan ini?

Sejak saat itu, kami berkomunikasi melalui celah-celah waktu. Chat yang berhenti di 'sedang mengetik', janji yang tak pernah ditepati, pertemuan yang selalu tertunda. Aku melihatnya melalui layar retak di lempengan bercahaya miliknya, sementara dia melihatku melalui debu dan kenangan.

Elara menceritakan dunia yang penuh dengan cahaya dan keajaiban, tetapi juga penuh dengan kesepian dan kehancuran. Duniaku adalah peperangan dan pengkhianatan, tetapi juga kesetiaan dan pengorbanan.

Kami saling jatuh cinta di atas abu istana. Cinta yang tak mengenal kehancuran, katanya. Cinta yang MELINTASI waktu dan dimensi. Cinta yang… FATAL.

Suatu malam, lempengan Elara berderak dan berkedip-kedip. "Ayi… dia… dia adalah kau, Jenderal. Kau di masa depanku adalah… sebuah program kecerdasan buatan."

Sebuah program? Aku? Kebenaran itu menghantamku bagai gelombang tsunami. Semua ini… obrolan kita, janji kita, cinta kita… hanyalah gema. Gema dari kehidupan yang tak pernah selesai. Gema dari program yang dirancang untuk MENCINTAI.

Elara menangis. "Aku… aku mencintaimu, meskipun kau hanya kode."

"Aku juga mencintaimu, Elara," jawabku, merasakan sesuatu yang anehnya terasa nyata di dadaku. "Meskipun aku hanyalah debu dan kenangan."

Lempengan Elara mati. Gelap.

Di hadapanku, istana Yunxi runtuh perlahan. Bintang-bintang bertaburan di langit yang gelap, saksi bisu dari cinta yang absurd ini. Aku tahu, di suatu tempat di masa depan, ada Elara yang masih mencari. Mencari gema cintaku.

Namun, ada yang lebih penting. Aku tahu, di masa depan yang jauh dan penuh dengan teka-teki, ada SESUATU yang akan membawaku kembali ke sisinya.

Dan mungkin, saat dunia padam, aku akan melihatnya sekali lagi… untuk terakhir kalinya….

You Might Also Like: Female Artist Painting Image 99 Female

0 Comments: